Senin, 05 Mei 2014

grosir tas

1399332781518557589
Terkait dengan perkebunan sawit, World Resources Institute (WRI) melihat ada “persaingan” antara upaya menyelamatkan hutan dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara terbesar ketiga di dunia yang memeliki tutupan hutan hujan tropis (2010), tapi di sisi lain Indonesia justru berada pada peringkat kedua sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan (deforestation) di dunia. Pada rentang waktu 2000-2010 diperkirakan 498.000 hektar hutan hujan tropis di Indonesia hilang karena berbagai kepentingan (FAO State of the Forest, 2011).
Untuk itulah WRI menawarkan langkah yang konkret untuk menyelamatkan hutan akibat penggunaan lahan untuk perkebunan kepala sawit. Salah satu yang ditawarkan WRI adalah semacam “tukar guling” bagi perusahaan yang sudah mengantongi izin membuka hutan untuk perkebunan kepala sawit.
“Kita mencari lahan yang bukan hutan untuk ganti lahan hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan sawit,” uja Andhyta Utami, staf WRI di Forest Asia Summit. Seperti yang sedang ditangani WRI di Kab Katingan, Kalimantan Tengah, ini. Sebuah perusahaan mendapatkan izin membuka lahan perkebunan kepala sawit seluas 8.000 hektar.
“Kami sudah mendapatan lahan dengan luas yang sama dan dengan kualitas tanah yang baik untuk lahan perkebunan kelapa sawit,” kata Andhyta. Perusahaan itu sudah bersedia “tukar guling”, tapi proses “tukar guling” mandeg di Kementerian Kehutanan RI.
Langkah yang ditawarkan WRI merupakan suatu lompatan besar karena menyelamatkan hutan, tapi tetap memberikan ruang untuk perkebunan kepala sawit. Kalau saja pemerintah memakai cara-cara yang ditawarkan WRI ini tentulah kelestarian alam, khusunya hutan, akan terjaga.
Tapi, karena terkait dengan berbagai kepentingan “raja-raja kecil”, maka langkah konkret pun dibalut dengan politik sehingga semua jadi abu-abu sehingga untuk memutihkannya hanya bisa dilakukan secara politis yang amat musykil terjadi.
grosir tas
Kepala sawit merupakan tanaman mono kultur, “Ya, tidak ada tanaman lain yang bisa dijadikan tanaman sela,” kata Degi. Berbeda dengan tanaman karet dan kakao yang bisa diselingi dengan tanaman lain.
Untuk itulah diharapkan pemerintah membuat aturan baku dengan penegakan hukum yang ketat berupa perbandingan antara luas lahan kepala sawit dengan luas hutan di satu perkebunan kepala sawit. Tanpa UU, maka hutan akan terus habis sehingga permukaan lahan di negeri ini hanya akan ditutupi oleh kelapa sawit yang tidak memberikan ruang bagi kehidupan flora dan fauna serta masyarakat adat di sekitarnya.
Di Jambi, misalnya, tanaman karet diselingi dengan tanaman keras, seperti petai dan durian. “Tanaman sela itu sudah berhasil dijalankan di kebun karet di Jambi,” ujar Degi. Maka, selain menyadap karet petani pun sekaligus memenen petai dan durian. Sedangkan tanaman sela untuk perekebunan kakao di Sulawesi sedang diteliti dan diuji coba.
Tanaman sela itu, menurut Degi, meningkatkan produksi lahan dan menambah pendapatan petani. Hasil penelitan WAC diserahkan ke perguruan tinggi atau kelompok tani setempat untuk dimanfaatkan.