Terkait dengan perkebunan sawit,
World Resources Institute (WRI) melihat ada “persaingan” antara upaya
menyelamatkan hutan dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara terbesar
ketiga di dunia yang memeliki tutupan hutan hujan tropis (2010), tapi di
sisi lain Indonesia justru berada pada peringkat kedua sebagai negara
dengan tingkat kerusakan hutan (deforestation) di dunia.
Pada rentang waktu 2000-2010 diperkirakan 498.000 hektar hutan hujan
tropis di Indonesia hilang karena berbagai kepentingan (FAO State of the Forest, 2011).
Untuk itulah WRI menawarkan langkah
yang konkret untuk menyelamatkan hutan akibat penggunaan lahan untuk
perkebunan kepala sawit. Salah satu yang ditawarkan WRI adalah semacam
“tukar guling” bagi perusahaan yang sudah mengantongi izin membuka hutan
untuk perkebunan kepala sawit.
“Kita mencari lahan yang bukan
hutan untuk ganti lahan hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan
sawit,” uja Andhyta Utami, staf WRI di Forest Asia Summit. Seperti yang
sedang ditangani WRI di Kab Katingan, Kalimantan Tengah, ini. Sebuah
perusahaan mendapatkan izin membuka lahan perkebunan kepala sawit seluas
8.000 hektar.
“Kami sudah mendapatan lahan dengan
luas yang sama dan dengan kualitas tanah yang baik untuk lahan
perkebunan kelapa sawit,” kata Andhyta. Perusahaan itu sudah bersedia
“tukar guling”, tapi proses “tukar guling” mandeg di Kementerian
Kehutanan RI.
Langkah yang ditawarkan WRI
merupakan suatu lompatan besar karena menyelamatkan hutan, tapi tetap
memberikan ruang untuk perkebunan kepala sawit. Kalau saja pemerintah
memakai cara-cara yang ditawarkan WRI ini tentulah kelestarian alam,
khusunya hutan, akan terjaga.
Tapi, karena terkait dengan
berbagai kepentingan “raja-raja kecil”, maka langkah konkret pun dibalut
dengan politik sehingga semua jadi abu-abu sehingga untuk memutihkannya
hanya bisa dilakukan secara politis yang amat musykil terjadi.
grosir tas |
Kepala sawit merupakan tanaman mono
kultur, “Ya, tidak ada tanaman lain yang bisa dijadikan tanaman sela,”
kata Degi. Berbeda dengan tanaman karet dan kakao yang bisa diselingi
dengan tanaman lain.
Untuk itulah diharapkan pemerintah
membuat aturan baku dengan penegakan hukum yang ketat berupa
perbandingan antara luas lahan kepala sawit dengan luas hutan di satu
perkebunan kepala sawit. Tanpa UU, maka hutan akan terus habis sehingga
permukaan lahan di negeri ini hanya akan ditutupi oleh kelapa sawit yang
tidak memberikan ruang bagi kehidupan flora dan fauna serta masyarakat
adat di sekitarnya.
Di Jambi, misalnya, tanaman karet
diselingi dengan tanaman keras, seperti petai dan durian. “Tanaman sela
itu sudah berhasil dijalankan di kebun karet di Jambi,” ujar Degi. Maka,
selain menyadap karet petani pun sekaligus memenen petai dan durian.
Sedangkan tanaman sela untuk perekebunan kakao di Sulawesi sedang
diteliti dan diuji coba.
Tanaman sela itu, menurut Degi,
meningkatkan produksi lahan dan menambah pendapatan petani. Hasil
penelitan WAC diserahkan ke perguruan tinggi atau kelompok tani setempat
untuk dimanfaatkan.